Sebelumnya,
izinkan aku untuk meminta maaf atas segala salah yang telah aku perbuat. Maaf
jika selama ini aku tak sempat meluangkan waktu untuk bersamamu. Sibuk dengan
rutinitasku yang selama ini menyita banyak waktu. Bertemu denganmu pun hanya
aku rasakan sebagai angina lalu.
Aneh rasanya
ketika aku mencoba untuk menulis ini padamu. Lama aku sadari meski kita tinggal
dalam satu atap, namun seolah seperti ada jarak dan benteng yang tak terlihat.
Membuat kita jarang sekali mengobrol santai dan mencurahkan isi hati
masing-masing. Namun, tahukah engkau wahai Ayah, bahwa sebenarnya aku rindu?
AKU ADALAH ANAKMU YANG PALING BERUNTUNG. SEBELUM
KELAHIRAN ADIK-ADIK KE DUNIA, KITA PUNYA WAKTU UNTUK MENGHABISKAN HARI BERDUA
Sebagai anak
pertama, aku sadar bahwa akulah yang paling banyak menghabiskan waktu
bersamamu. Pernah kau mengajakku ke kota untuk sebuah urusan. Jarak rumah yang
kurang lebih 5 jam perjalanan memaksa kita untuk bermalam di rumah temanmu.
Di waktu malam
tiba, engkau mengajakku keluar, menikmati indahnya suasana “Kota Besar”.
Berhenti makan di warung lesehan pinggir jalan dan engan PD-nya menjelajah
banyak took tanpa keluar dengan menenteng belanjaan satupun. Aku masih ingat
jelas ketika kita akhirnya sampai di depan took burger yang terkenal dengan
ikonnya yang gendut itu, tak kusangka engkau mengajakku untuk masuk. Perasaanku
waktu itu gembira bukan main – meski kita hanya keluar dengan sepucuk es krim
cokelat.
Aku juga ingat
momen ketika kita bertiga sering bepergian menggunakan sepeda motormu yang –
mungkin pada masa itu adalah sepeda motor paling keren yang pernah ada pelesir ke pantai, ke rumah nenek, pokoknya
kemanapun kita pergi, selalu mengendarai sepeda motor itu. Hanya kita bertiga,
engkau, aku dan juga ibu. Ah! Kenangan bersama motor butut itu tak akan pernah aku lupa. Sayang,
sekarang benda antik itu hanya terpajang lesu di garasi samping rumah kita.
SEIRING AKU BERANJAK REMAJA, EGO SEBAGAI PRIA SERING
MEMUNCULKAN KERIKIL DIANTARA KITA. AKU KERAP MEMBERONTAK, TAPI BUKAN BERARTI
AKU TAK CINTA PADAMU, AYAH
Tak jarang kita
berselisih paham tentang banyak hal, selalu ingin bicara tanpa ada yang mau
mendengarkan. Berdebat, tanpa ada yang mau mengalah. Kita berdua sama-sama
merasa paling benar dan ketika “titik didih” itu tiba, sering aku melenggang
pergi dari medan tempur. Dan saat itu pula-lah kau selalu mengeluarkan jurus
terakhirmu.
“Kalau sedang
dinasehati orang tua itu di dengerin. Jangan malah ngeleyos pergi.”
Terenyuh rasanya
hati ini jika mendengarmu berbicara seperti itu. Ayah, bukan maksudku tak punya
rasa hormat kepadamu, maupun tak menghiraukan pendapatmu. Aku hanya tak ingin
perdebatan-perdebatan kecil kita menjadi ketegangan yang malah justru
enimbulkan amarah diantara kita. Karena engkau tau kenapa ayah? Aku sayang
padamu
BUKAN HANYA SEKALI AKU MEMPERTANYAKAN RASA CINTAMU
PADAKU, YAH. KENAPA KAU SELALU TENANG, TIDAK SEEKSPRESIF IBU?
Ayah memang tak
pernah seeksresif ibu. Waktu itu, aku yang belum genap berusia dua belas, harus
pergi jauh dari rumah dalam rangka menuntut ilmu. Waktu itu, Ibu dengan
bebasnya memelukku, mencium pipi kanan-kiriku, sembari sesekali menitikkan air
mata, namun yang kulihat Ayah justru hanya diam terpaku, hanya sesekali
mengusap rambut dan bahu-ku.
“Mungkin
sebenarnya Ayah juga ingin melakukan seperti yang Ibu lakukan. Tapi mungkin
Ayah hanya ingin menjaga emosi dan tidak mau terlihat cengeng di depan anak
yang dia sayang.”
NAMUN DIBALI SEGALA SESUATU YANG KITA ALAMI, AKU
SUNGGUH SADAR BAHWA AYAH BERTINDAK KARENA AYAH PEDULI
Engkau adalah
seorang Ayah yang unik. Unik karena ternyata Ayah lebih cerewet dan rewl dari
Ibu. Ayah yang paling rebut jika sudah berbicara mengenai kebersihan rumah.
Ayah pula yang paling “rishi” jika ada sesuatu yang tidak sesuai pada tempatnya.
Tak jarang pula hal-hal kecil itu menyeret kita pada perdebatan-perdebatan yang
semestinya tidak perlu untuk kita lakoni.
Tapi Ayah,
dibalik itu semua aku sangat sadar bahwa Ayah sesungguhnya amat sayang kepada
kami – kepada aku dan adik-adik. Engkau secara tak langsung mengajarkan kepada
kami agar bisa mandiri dan berdiri diatas kaki sendiri. memberitahu kami
apa-apa yang mungkin tak bisa kami dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah.
ANAK LELAKIMU INI, MEMANG MASIH BELUM BISA MEMBUATMU
BANGGA YAH. TAPI AYAH, AKU TAK PERNAH ALPA MENYEBUTMU DALAM SUJUD DAN DOAKU
Maafkan aku
Ayah, aku tidak bisa menjadi seroang anak yang baik, yang bisa euruti semua
kemauan Ayah. Bahkan di usiaku yang sudah 20 tahun ini, aku belum bisa
menghadirkan kebahagiaan dalam hidupmu. Aku belum bisa membuatmu bangga.
Namun percayalah
Ayah, bukan berarti aku tidak berusaha, bukan berarti aku tak cinta, bukan
berarti aku tak hormat. Yang bisa ku lakukan kini hanyalah menyebut namamu
dalam setiap doa, memohon kepada-Nya agar senantiasa dan selalu menjaga engkau
seperti engkau menjagaku disaat aku masih kecil dengan penuh cinta dan kasih.
Dari Putramu
yang rindu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar