“Kau mengeluh
betapa sering sepi menyelinap ke sealik selimutmu
Menjambret semua
hangat yang tersimpan di situ
Gelisah senyap
khatam kau cumbui, kesepian tamat kau jamahi
Kau merasa
seperti narapidana yang dikurung di sel ekstradisi – benar-benar seorang diri
Kau lupa,
perjalanan itu sebenarnya tak begitu sunyi
Hatimu ada, dia
setia
Membersamai
langkahmu tanpa perlu diminta”
Akhirnya kau meluangkan waktu
melongok sejenak demi menjenguk si hati – dia yang selama ini kau diamkan
karena takut merasa sakit lagi. Atau memang enggan kau akrabi atas alasan
menjaga diri. Pelan kau rogoh kantung kemeja lawas yang tersimpan di lemari
itu, mengambil anak kunci yang masuk hidupmu – ketika anak kunci menemukan
ulirnya, kau putar tanpa berpikir panjang. Bunyi “klik” menguar ke udara, tanda
hatimu kembali terbuka. Bangun dari hibernasinya sekian lama. Kau ambil waktu
untuk memandanginya – hanya untuk sadar bahwa kini bentuknya tak lagi sama.
Ada luka yang menghiasi tiap lekukan
sudutnya. Warnanya yang dulu merah muda berseri, kini berganti jadi marun tua.
Hatimu tak lagi mudah mengumbar tawa. Dia tenang, keras seperti pualam. Bulu
kuduk di tengkukmu berdiri menyadari betapa sepinya hatimu selama ini. Dengan
suara terlembut yang bisa mulutmu buat kau lontarkan tanya,
“Masihkah kau
tabah, atau kali ini kita harus bersepakat untuk menyerah?”
Dan,
layaknya titah pandita raja ia menjawab dengan gagahnya,
“Bertahanlah.
Aku cukup tabah memanggul pedih. Kini giliranmu memangkas beban dengan perlahan
melesap perih.”
SEDANG KAMU TAK
LEBIH DARI TUANG KEPALA BATU. NYERI YANG DATANG TAK CUMA SEKALI MEMBUATMU
PONGAH MERANCAH HARAPAN-HARAPAN BAIK DI DEPAN HIDUNGMU
Sebenarnya kau mengenal baik manusia
yang hangat hatinya. Dulu, dulu sekali – di hadapanmu ia ceritakan mimpi dan
harapan-harapan baik. Kamu sempat percaya, bahkan turut bahagia hanya jadi
pendengar setianya. Tapi kini cerita berganti dari roman jadi suspense yang
menguji nyali. Sayangnya kamu terlalu terbiasa dengan dongeng yang isinya hanya
putri, pangeran dan akhir bahwa mereka hidup bahagia selamanya.
Jujur saja, sebagai manusia kamu
sudah lupa rasanya bahagia. Bibirmu terlalu lama libur dari kegiatan senyum
tulus dan gelak riang. Kamu lupa bagaimana hati bisa berdesir saat senang, kamu
tak lagi tahu apakah lemari yang saling bertaut bisa menghasilkan gelenyar
listrik – tubuhmu sudah diset untuk bergerak tanpa banyak telisik dan bisik
“Kalau saja
mengakrabi sepi bisa menghasilkan gelar akademik di depan nama, dijamin saat
ini kamu sudah mengantungi gelar Doktor seperti lulusan S3. Sayang, jadi
pengepul sepi hanya memberimu serikat sunyi yang khidmat kamu peluk hingga saat
ini.”
Mulai saat itu harapan-harapan baik
kau panggil pulang. Satu persatu kau angkat mereka ke depan hidupmu, kau
pandangi lama-lama. Kemudian tanpa banyak bertanya kau racah kembali mereka
kecil-kecil agar bisa masuk ke saku celana.
DI PUPILMU AIR
MATA SUDAH MEMBANGUN MENARA. PADA HALAMAN DEPAN RUMAHMU KUAT TERPANCANG POHON
DUKA. SEPI, SEKIAN LAMA JADI KAWAN PALING SETIA MENEMANI
Hapalanmu soal sakit dan bagaimana
mengakrabi sepi sudah sampai pada level tertingginya. Kini kamu mengerti
bagaimana nyeri akan merambat dari tengah dada ke kebasnya tangan setiap
melihatny meremehkan perhatian. Kamu sudah hapal di luar kepala bagaimana pucuk
hidung meremang setiap namanya berkelebat di kepala.
Orang bilang kamu menyerah pada sepi
dan sakit yang tak pernah alpa menghampiri. Kamu enggan berjuang mengalahkan
keheningan yang meliputi hati.
“Apa yang salah
dengan mengakrabi sepi yang sedikit berbalut rindu? Tanganu menyisip ke kantung
celana, tempat rancahan harapan-harapan baik tersimpan sekian lama. Kali ini
kamu lebih memilih percaya pada firasat bahwa sesuatu yang menjanjikan akan
datang pada akhirnya.”
Kau tiriskan rendaman duka yang
tertinggal di ember berjam-jam lamanya. Berjam-jam yang jauh lebih panjang dari
perhitungan manusia biasa. Pada pohon duka yang gagah berdiri kau letakkan
mereka. Dengan jujur kau akui sedihmu, ikhlas kau nyatakan sepimu – tapi bukan
berarti kau tak sabar menunggu.
“Kau sesap pahit
kenangan yang kini datang dengan lebih santun. Alih-alih mengeluh, kau malah menghitung
tonjokan ke ulu hati yang datang beruntun. Duka dan sendiri tak lagi abu-abu di
matamu. Mereka berubah menjadi ungu, pink, bahkan biru lewat imajinasimu.”
TAPI SEMENJAK
KAU TAHU KEHILANGAN HANYA BUTUH DILAWAN DENGAN DOA – MULAI SAAT ITU KESEPIAN
TAK LAGI HARUS MENYISAKAN AIR MATA
Tidak
ada yang pantas untuk disalahkan. Kalian hanya dua manusia yang berjalan di dua
cabang yang berlainan bentuk dan arah.
“Baginya,
harapan seperti energy terbarukan. Sedang bagimu, sejak saat itu, ia seperti
anak hilang yang tak pernah lagi pulang.”
Kalian dua manusia cerdas yang
sama-sama tahu apa yang harus disudahi. Hanya sempat terlampau pengecut untuk
berani menghadapi sendiri.
“Bagimu harapan
tinggi harus segera dipangkas sependek rambut tentara. Sementara baginya, ia
perlu belajar memperlakukanmu seperti layaknya manusia. Bukan warung makan
Padang yang bisa didatangi seenaknya.”
Hari-harimu jadi zombie yang tidak
bisa berpikir dengan akan sehat sudah lewat masanya. Kini kamu bisa memaksa
diri bangun di pagi hari, meski namanya tetap belum terhapus dari hati.
Impianmu perlahan mullai kau kejar lagi, walau sesekali kau bayangkan betapa
nyamannya jika ia ada di sisi untuk mendampingi. Perlahan kau mulai bisa hidup
untuk diri sendiri, meski jujur kau tahu kau bukanlah orang yang sama lagi.
“Seklise apapun
kedengarannya kekuatan tak lain datang dari doa-doa kecil yang kau uarkan ke
udara. Kau percaya doa menguatkanmu, tanpa sentuh tangann langsung doamu pun
mengasihinya. Dalam tiap sujud dan tangkup tangan kau sisipkan namanya ke
telinga Sang Pencipta. Berharap Ia mendengar permohonan HambaNya tang tak punya
daya.”
Satu-dua kali sepi tetap terasa
menyiksa. Namun kini doa sudah bisa menanakkan air mata. Kawanan air mata yang
dulu datang tanpa diminta sekarang lebih tau sopan santun bertamu. Mereka tak
agi terlampau rutin mengunjungimu.
TAK
ADA KESEDIHAN YANG PANTAS DISANTUNI. HATI TABAHMU PUN MENGERTI KAU PANTAS
MENDAPATKAN LEBIH DARI YANG GIGIH KAU PERJUANGKAN SAAT INI
Sepanjang liku jalan ini kau
belajar. Kau hanya boleh menengok lagi pada ia yang bisa menjaga hati. Karena
kebanyakan manusia lebih menghargai ia yang hengkang tanpa pernah melongok
lagi. Kini kau tahu, beberapa dari mereka yang memilih pergi memang tak ingin
melihatmu jungkir-balik jumpalitan mengusahakannya kembali. Bagi mereka, kamu
hanya tanah lapang persinggahan, persimpangan yang harus dilalui. Dan betapa
bodohnya dirimu jika keras kepala memperjuangkan ia yang bahkan tak mau lagi
sekadar menitip hati.
“Kau pernah
hidup berjubahkan rindu. Sajak-sajak pilu sempat berloncatan tanpa henti di
kepalamu. Tapi kini kau tahu, kesedihan macam ini tak pantas untuk disantuni.
Tiba saatnya kau hidup dengan gagah berani.”
Kini kamu tak ingin berdebat siapa
yang kalah dan siapa yang menang dalam pertandingan soal perasaan. Telah tuntas
kau makamkan berbatang-batang perdu kesepian. Jika sepi memang sudah
tertakdirkan sampai hari bahagia itu datang, mengelabuinya dengan kehangatan semu
justru bisa jadi sebuah kejahatan. Sedang kamu dan hatimu bukanlah pecundang.
“Tuhan tak akan
menabahkan hatimu tanpa rencana. Sekarang, giliranmu untuk bagaimana bertahan
dengan sekuat tenaga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar