Minggu, 01 Maret 2015

UNTUKMU YANG TELAH SABAR MENGAKRABI SEPI



“Kau mengeluh betapa sering sepi menyelinap ke sealik selimutmu
Menjambret semua hangat yang tersimpan di situ
Gelisah senyap khatam kau cumbui, kesepian tamat kau jamahi
Kau merasa seperti narapidana yang dikurung di sel ekstradisi – benar-benar seorang diri
Kau lupa, perjalanan itu sebenarnya tak begitu sunyi
Hatimu ada, dia setia
Membersamai langkahmu tanpa perlu diminta”

HATIMU PANGLIMA PERANG BERNYALI JAWARA. DIA TAK PERNAH MENYERAH MESKI TUBUHNYA PENUH GULIR LUKA
            Akhirnya kau meluangkan waktu melongok sejenak demi menjenguk si hati – dia yang selama ini kau diamkan karena takut merasa sakit lagi. Atau memang enggan kau akrabi atas alasan menjaga diri. Pelan kau rogoh kantung kemeja lawas yang tersimpan di lemari itu, mengambil anak kunci yang masuk hidupmu – ketika anak kunci menemukan ulirnya, kau putar tanpa berpikir panjang. Bunyi “klik” menguar ke udara, tanda hatimu kembali terbuka. Bangun dari hibernasinya sekian lama. Kau ambil waktu untuk memandanginya – hanya untuk sadar bahwa kini bentuknya tak lagi sama.
            Ada luka yang menghiasi tiap lekukan sudutnya. Warnanya yang dulu merah muda berseri, kini berganti jadi marun tua. Hatimu tak lagi mudah mengumbar tawa. Dia tenang, keras seperti pualam. Bulu kuduk di tengkukmu berdiri menyadari betapa sepinya hatimu selama ini. Dengan suara terlembut yang bisa mulutmu buat kau lontarkan tanya,
“Masihkah kau tabah, atau kali ini kita harus bersepakat untuk menyerah?”
Dan, layaknya titah pandita raja ia menjawab dengan gagahnya,
“Bertahanlah. Aku cukup tabah memanggul pedih. Kini giliranmu memangkas beban dengan perlahan melesap perih.”

SEDANG KAMU TAK LEBIH DARI TUANG KEPALA BATU. NYERI YANG DATANG TAK CUMA SEKALI MEMBUATMU PONGAH MERANCAH HARAPAN-HARAPAN BAIK DI DEPAN HIDUNGMU
            Sebenarnya kau mengenal baik manusia yang hangat hatinya. Dulu, dulu sekali – di hadapanmu ia ceritakan mimpi dan harapan-harapan baik. Kamu sempat percaya, bahkan turut bahagia hanya jadi pendengar setianya. Tapi kini cerita berganti dari roman jadi suspense yang menguji nyali. Sayangnya kamu terlalu terbiasa dengan dongeng yang isinya hanya putri, pangeran dan akhir bahwa mereka hidup bahagia selamanya.
            Jujur saja, sebagai manusia kamu sudah lupa rasanya bahagia. Bibirmu terlalu lama libur dari kegiatan senyum tulus dan gelak riang. Kamu lupa bagaimana hati bisa berdesir saat senang, kamu tak lagi tahu apakah lemari yang saling bertaut bisa menghasilkan gelenyar listrik – tubuhmu sudah diset untuk bergerak tanpa banyak telisik dan bisik
“Kalau saja mengakrabi sepi bisa menghasilkan gelar akademik di depan nama, dijamin saat ini kamu sudah mengantungi gelar Doktor seperti lulusan S3. Sayang, jadi pengepul sepi hanya memberimu serikat sunyi yang khidmat kamu peluk hingga saat ini.”
            Mulai saat itu harapan-harapan baik kau panggil pulang. Satu persatu kau angkat mereka ke depan hidupmu, kau pandangi lama-lama. Kemudian tanpa banyak bertanya kau racah kembali mereka kecil-kecil agar bisa masuk ke saku celana.

DI PUPILMU AIR MATA SUDAH MEMBANGUN MENARA. PADA HALAMAN DEPAN RUMAHMU KUAT TERPANCANG POHON DUKA. SEPI, SEKIAN LAMA JADI KAWAN PALING SETIA MENEMANI
            Hapalanmu soal sakit dan bagaimana mengakrabi sepi sudah sampai pada level tertingginya. Kini kamu mengerti bagaimana nyeri akan merambat dari tengah dada ke kebasnya tangan setiap melihatny meremehkan perhatian. Kamu sudah hapal di luar kepala bagaimana pucuk hidung meremang setiap namanya berkelebat di kepala.
            Orang bilang kamu menyerah pada sepi dan sakit yang tak pernah alpa menghampiri. Kamu enggan berjuang mengalahkan keheningan yang meliputi hati.
“Apa yang salah dengan mengakrabi sepi yang sedikit berbalut rindu? Tanganu menyisip ke kantung celana, tempat rancahan harapan-harapan baik tersimpan sekian lama. Kali ini kamu lebih memilih percaya pada firasat bahwa sesuatu yang menjanjikan akan datang pada akhirnya.”
            Kau tiriskan rendaman duka yang tertinggal di ember berjam-jam lamanya. Berjam-jam yang jauh lebih panjang dari perhitungan manusia biasa. Pada pohon duka yang gagah berdiri kau letakkan mereka. Dengan jujur kau akui sedihmu, ikhlas kau nyatakan sepimu – tapi bukan berarti kau tak sabar menunggu.
“Kau sesap pahit kenangan yang kini datang dengan lebih santun. Alih-alih mengeluh, kau malah menghitung tonjokan ke ulu hati yang datang beruntun. Duka dan sendiri tak lagi abu-abu di matamu. Mereka berubah menjadi ungu, pink, bahkan biru lewat imajinasimu.”



TAPI SEMENJAK KAU TAHU KEHILANGAN HANYA BUTUH DILAWAN DENGAN DOA – MULAI SAAT ITU KESEPIAN TAK LAGI HARUS MENYISAKAN AIR MATA
            Tidak ada yang pantas untuk disalahkan. Kalian hanya dua manusia yang berjalan di dua cabang yang berlainan bentuk dan arah.
“Baginya, harapan seperti energy terbarukan. Sedang bagimu, sejak saat itu, ia seperti anak hilang yang tak pernah lagi pulang.”
            Kalian dua manusia cerdas yang sama-sama tahu apa yang harus disudahi. Hanya sempat terlampau pengecut untuk berani menghadapi sendiri.
“Bagimu harapan tinggi harus segera dipangkas sependek rambut tentara. Sementara baginya, ia perlu belajar memperlakukanmu seperti layaknya manusia. Bukan warung makan Padang yang bisa didatangi seenaknya.”
            Hari-harimu jadi zombie yang tidak bisa berpikir dengan akan sehat sudah lewat masanya. Kini kamu bisa memaksa diri bangun di pagi hari, meski namanya tetap belum terhapus dari hati. Impianmu perlahan mullai kau kejar lagi, walau sesekali kau bayangkan betapa nyamannya jika ia ada di sisi untuk mendampingi. Perlahan kau mulai bisa hidup untuk diri sendiri, meski jujur kau tahu kau bukanlah orang yang sama lagi.
“Seklise apapun kedengarannya kekuatan tak lain datang dari doa-doa kecil yang kau uarkan ke udara. Kau percaya doa menguatkanmu, tanpa sentuh tangann langsung doamu pun mengasihinya. Dalam tiap sujud dan tangkup tangan kau sisipkan namanya ke telinga Sang Pencipta. Berharap Ia mendengar permohonan HambaNya tang tak punya daya.”
            Satu-dua kali sepi tetap terasa menyiksa. Namun kini doa sudah bisa menanakkan air mata. Kawanan air mata yang dulu datang tanpa diminta sekarang lebih tau sopan santun bertamu. Mereka tak agi terlampau rutin mengunjungimu.

TAK ADA KESEDIHAN YANG PANTAS DISANTUNI. HATI TABAHMU PUN MENGERTI KAU PANTAS MENDAPATKAN LEBIH DARI YANG GIGIH KAU PERJUANGKAN SAAT INI
            Sepanjang liku jalan ini kau belajar. Kau hanya boleh menengok lagi pada ia yang bisa menjaga hati. Karena kebanyakan manusia lebih menghargai ia yang hengkang tanpa pernah melongok lagi. Kini kau tahu, beberapa dari mereka yang memilih pergi memang tak ingin melihatmu jungkir-balik jumpalitan mengusahakannya kembali. Bagi mereka, kamu hanya tanah lapang persinggahan, persimpangan yang harus dilalui. Dan betapa bodohnya dirimu jika keras kepala memperjuangkan ia yang bahkan tak mau lagi sekadar menitip hati.
“Kau pernah hidup berjubahkan rindu. Sajak-sajak pilu sempat berloncatan tanpa henti di kepalamu. Tapi kini kau tahu, kesedihan macam ini tak pantas untuk disantuni. Tiba saatnya kau hidup dengan gagah berani.”
            Kini kamu tak ingin berdebat siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pertandingan soal perasaan. Telah tuntas kau makamkan berbatang-batang perdu kesepian. Jika sepi memang sudah tertakdirkan sampai hari bahagia itu datang, mengelabuinya dengan kehangatan semu justru bisa jadi sebuah kejahatan. Sedang kamu dan hatimu bukanlah pecundang.
“Tuhan tak akan menabahkan hatimu tanpa rencana. Sekarang, giliranmu untuk bagaimana bertahan dengan sekuat tenaga.”

Tidak ada komentar: